Minggu, 28 Juni 2015

Tugu L.B Moerdani, Merauke

Pada tanggal 16 Mei 2015 kami Tim Nusantara Sehat penempatan Kimaam, Merauke berkesempatan untuk mengunjungi Tugu L.B. Moerdani yang terletak di distrik Tanah Miring, Kab. Merauke. Tugu ini dibangun sebagai penghormatan atas perjuangan L.B Moerdani memimpin pejuang RI dalam pembebasan Irian Barat dari penjajah Belanda. Tepatnya pada 4 Juni 1962 untuk pertama kalinya di lakukan penerjunan pasukan RPKAD  dan Kostrady ang dipimpin oleh  Mayor Leonardus Benjamin Moerdani dalam operasi Naga melawan militer Belanda.



Kamis, 25 Juni 2015

Mari Berbagi di Bulan Suci

di bulan yang suci ini mari kita membuka hati
untuk berbagi sebagian rezeki
kepada sesama ciptaan Ilahi
semoga di akhirat nanti mendapat surga abadi

di bulan yang suci ini
mari kita membuka diri
mencoba mengintropeksi
sudah sedalam apa iman di hati
sudah banyakkah tabungan untuk akhirat nanti

sadarkah bahwa di sekilingmu masih banyak yang kelaparan
sadarkah bahwa di sekitarmu masih banyak yang membutuhkan bantuan
sadarkah bahwa di kanan kirimu masih banyak yang mengharap uluran tangan
sadarkah bahwa di setiap sudut jalan masih banyak yang menggantungkan harapan akan masa depan

Sabtu, 20 Juni 2015

Puskesmas Kimaam

Kami tiba di Puskesmas (PKM) Kimaam pada hari Minggu 17 Mei 2015. Setelah melewati berbagai peristiwa yang tak terduga akhirnya kami mendarat dengan selamat di bandara Kimaam sekitar pukul 8 pagi. Ada dua mobil yang menjemput salah satunya adalah mobil pusling. Sesampainya di PKM kami langsung memasuki aula untuk acara serah terima dari pendamping tim nusantara sehat kepada kepala PKM Kimaam. Acara serah terimanya berlangsungsederhana saja, tidak banyak pegawai yang hadir, karena rata-rata dari mereka masih beribadah di gereja. Setelah acara selesai kami menuju rumah dinas yang akan ditempati selama 2 tahun ke depan, kemudian keliling melihat keadaan puskesmas bersama pendamping kami Bu Lenny dan Pak Agus. Pendamping kami hanya mengantarkan saja, setelah kurang lebih satu jam di PKM mereka kembali ke merauke dengan pesawat yang sama. Kami hanya bisa melambaikan tangan melepas kepulangan mereka berdua yang sudah menemani hampir 10 hari selama di perjalanan dari Jakarta-Jayapura-Merauke hingga akhirnya bisa menginjakkan kaki di Kimaam yang menjadi tujuan akhir. Berbagai kejadian dilewati bersama, tentu bukan hal yang mudah untuk menjaga dan memastikan 7 anak orang agar selamat hingga tujuan. Kami sangat berterima kasih kepada mereka berdua yang rela menemani hingga ke Kimaam.
Puskesmas Kimaam



Pada minggu pertama di Kimaam kami melakukan perkenalan ke distrik yang hanya ada petugas pelaksana saja, ke koramil, namun tidak sempat ke kepala kampung karena saat itu semua kepala kampung sedang tidak ada di tempat. Pada malam hari kami mendapatkan "kuliah malam" di rumah kepala puskesmas yaitu dr. Remix. Beliau menceritakan banyak hal mengenai keadaan puskesmas. Biasanya kami diminta datang ke rumah dkter pukul 7 malam hingga listrik sudah mati yaitu sekitar pukul 12 malam. Akhirnya kami pulang gelap-gelapan dengan mengandalkan senter.  Pernah suatu malam dokter remix yang datang ke rumah kami dan disitu kami mendengarkan petuah-petuahnya hingga pukul 1, salah satu di antara kami sudah ada yang terbaring tidur, namun beliau tetap semangat bercerita dan membagi ilmu-ilmunya. Sepertinya dkter  sangat senang dan bersemangat dengan kehadiran kami. Kami juga sangat senang diberi pembekalan ilmu baru yang selama di pusdiklat belum kami dapatkan.
dr. Remix dan istrinya dr Marce
di sela-sela "kuliah malam"


Survei rumah tangga baru bisa kami lakukan pada minggu kedua dan ketiga untuk 5 kampung dalam. Adapun 6 kampung luar kami hanya bisa menyesuaikan jadwal pusling, yang baru pada tgl 13-15 Juni tadi ke 2 kampung, kemudian ke 2 kampung yang lain pada tgl 19-21 Juni, untuk 2 kampung terakhir rencananya tgl 23-25 Juni mendatang. Ini ada beberapa foto waktu kami survei di kampung dalam


















Sekilas mengenai distrik (kecamatan) Kimaam

Kimaam adalah salah satu distrik yang ada di Kabupaten Merauke, berada di Pulau tersendiri yang jaraknya cukup jauh dari kota Merauke. Kalau di peta kimaam ini berada di Pulau Yos Sudarso. Perjalanan menuju Kimaam hanya bisa ditempuh lewat jalur laut atau udara. Pesawat kecil Susi Air memiliki jadwal penerbangan ke Kimaam setiap Senin sampai Kamis saja. Di pesawat tersebut hanya terdapat 12 seat untuk penumpang. Sehingga setiap warga yang ingin ke kimaam atau dari kimaam harus booking jauh-jauh hari sebelum didahului oleh orang lain. Listrik di Kimaam hanya menyala dari jam 6 sore hingga 12 malam. Biasanya signal hp akan hilang pada jam 6 dan 12 tersebut, hal ini karena terjadi peralihan dari listrik ke genset atau sebaliknya. Di Kimaam hanya ada tower telkomsel, bisa sms dan telpon, namun tidak bisa mengakses internet. Tidak ada kantor pos, ada kantor distrik yang kadang rame kadang sepi. Ada Bank BPD Papua yang menjadi satu-satunya bank yang ada, itupun tak ada ATMnya. Ada SMA, SMK, SMP, SD danTK, namun gurunya sangat terbatas.
Distrik Kimaam memiliki 11 kampung, dengan 5 kampung dalam yang bisa ditempuh dengan jalan kaki, dan 6 kampung luar yang harus menggunakan speedboat atau alat transportasi laut lainnya seperti kapal, pok-pok untuk menjangkaunya. Kepala-kepala kampung sering tidak ada di tempat, pegawai pemerintah distrik juga demikian, mereka lebih sering berada di Merauke, sehingga roda pemerintahan belum berjalan dengan baik. Bisa dikatakan hanya pelayanan kesehatan yang aktif, sedangkan banyak permasalahan yang harus diselesaikan secara bersama-sama dengan berbagai sektor. Ada banyak kasus KDRT yang terjadi, kemiskinan yang menyebabkan anak-anak gizi buruk, sarana air bersih yang sangat minim sehingga sulit menegakkan PHBS.
Mayoritas penduduk kimaam beragama katolik, ada 1 gereja katolik yang berada di seberang puskesmas, selain itu juga ada 1 gereja protestan dan alhamdulillaIh ada 1 mesjid. Rata-rata yang beragama Islam adalah orang-orang pendatang, kebanyakan mereka berasal dari Sulawesi. Ada banyak kios di Kimaam, pemiliknya adalah orang-orang pendatang. Harga barang memang agak mahal dibandingkan harga-harga di kota, karena pengiriman barangnya susah. Ada satu pasar tepatnya di kampung woner, pasar biasanya dimulai pukul 7 pagi, jika minggu mulai pukul 10 pagi. Di pasar tersebut ada sayur-sayur berupa bayam, kangkung, kacang panjang, daun katuk, cabe, dan yang lainnya, harganya serba 5 ribu baik banyak maupun sedikit. Ikan juga banyak di kimaam, biasanya ikan kakap, gastor/gabus, lele harganya sangat murah. Satu ikat ikan hanya 20 ribu, biasanya satu ikat bisa berisi 8-12 ekor ikan..

Jumat, 19 Juni 2015

Terdampar di Wambi

Perjalanan kami menuju kimaam tidaklah semudah yang kami bayangkan. Saat di pusdiklat disampaikan bahwa kami akan 3x kali naik pesawat, pertama dari Jakarta ke Jayapura, setelah penyerahan di Jayapura kami lanjutkan ke Merauke dengan pesawat lagi, lalu dari merauke ke kimaam dengan pesawat juga. Namun ternyata kesepakatan antara pendamping dengan orang-orang yang ada di dinkes merauke adalah kami akan naik speedboat milik dinkes yang baru. Pertimbangan saat itu karena tiket pesawat ke kimaam agak sulit didapatkan, dan jika naik pesawat kemungkinan kami tidak bisa pergi bersama-sama sekaligus, hanya bisa bertahap.
Selasa tgl 12 Mei 2015 sekitar pukul 2.00 WIT kami sudah berangkat dari penginapan PGT Merauke menuju dermaga yang jaraknya tak jauh dari RSUD Merauke. Kami di jemput Pak Jon dengan bus dinkes yang sudah beberapa kali kami gunakan selama di Merauke. Setibanya di dermaga ada kapal penumpang besar nampak di seberang, dan di depan kami sudah ada speed yang mendarat di tanah yang dangkal. Pertama-tama memasukkan barang-barang bawaan kami ke dalam speed, ternyata ada beberapa barang yang tidak bisa dibawa mengingat muatannya sudah cukup banyak. Akupun merelakan satu koperku untuk ditinggal saja, katanya nanti dikirimkan lewat kapal. Ditengah-tengah memasukkan barang tersebut ada yang teriak-teriak, kejar-kejaran, semua kaget kecuali orang-orang yang sudah tinggal di merauke, mereka malah senyum-senyum melihat ekspresi ketakutan kami. Ternyata itu orang mabuk dan peristiwa seperti mau saling membunuh itu sudah biasa terjadi, abaikan saja kata salah seorang yang disana. Kejadian ini adalah pelajaran pertama yang kami dapatkan karena mereka bilang kami akan sering menemui hal serupa di kimaam. Rasa khawatir pun semakin besar dan mulai berikrar dalam hati kalau bisa tidak perlu keluar malam hari karena saking takutnya.hehe
Barang-barang yang akan dibawa sudah masuk ke speed, tapi belum ada tanda-tanda akan berangkat, kami malah disuruh untuk tiduran di bus dulu. Ternyata menunggu air pasang terlebih dahulu. Terpikir olehku kenapa awalnya disuruh cepat-cepat datang kalau akhirnya harus menunggu lagi, katanya sudah memperhitungkan airnya. Ada perasaan tak enak disitu, sebenarnya sudah waktu dari penginapan juga sudah ada rasa-rasa malas dan tidak yakin kalau kami akan berangkat naik speed ke kimaam pada pagi selasa ini. Mengingat beberapa orang yang kami tanya apakah sudah pernah ke kimaam naik speed, mereka rata-rata menjawab belum pernah dan itu menakutkan karena ombaknya yang tinggi. Kemudian terpikir lagi kenapa kami yang baru datang tiba-tiba dengan beraninya naik speed sedangkan orang yang sudah lama tinggal di Merauke pun tidak berani. Namun ketakutan itu sempat memudar ketika mengetahui bahwa driver yang akan membawa kami ke kimaam adalah orang yang sudah mahir, sudah biasa membawa bapak bupati juga kalau mau ke kimaam.
Sambil menunggu air pasang kami hanya tidur di bus dan sempat makan juga, karena katanya kalau sudah di speed nanti susah mau makan. Makanan sudah habis tapi belum berangkat juga, jadinya lanjutkan tidur lagi. Sampai adzan subuh berkumandang, dan beberapa saat setelah itu kami dipanggil untuk segera naik speed. Ada rasa yang sangat tidak enak karena tidak sempat shalat subuh, padahal sudah masuk waktu subuh. Saat itu gak enak mau minta ditunggu untuk shalat dulu karena takutnya itu sudah memang jamnya harus berangkat berdasarkan perhitungan air dan jika ditunda takut terjadi apa-apa. Padahal harusnya yakin selalu bahwa hanya Allah yang Maha Menguasai alam dan justru dengan shalat tersebut Allah akan memberi pertolongan selama perjalanan.
persiapan keberangkatan



Perasaan gelisah masih mengikuti sepanjang perjalanan, hanya bisa banyak-banyak berdzikir dan berdoa semoga Allah mengampuni kami yang tak sempat shalat dan melancarkan perjalanan kami hingga sampai di tujuan. Ketika berangkat hingga matahari terbit ombak tidak terlalu tinggi, sejauh ini semuanya masih aman dan beberapa dari kami melanjutkan tidur lagi di speed. Aku sempat melihat matahari yang terbit di atas permukaan laut, walaupun sudah agak sedikit tinggi tapi itu pemandangan indah pagi ini. Ka siti sangat memanfaatkan momen tersebut dengan berfoto selfi lewat camdig miliknya, sedangkan aku lebih memilih untuk tidur lagi. Hehehe
sunrise di tengah perjalanan
 
Aku bukan tipe orang yang bisa tidur lelap kalau dalam perjalanan, hanya menutup mata saja tapi sebenarnya masih bisa mendengar dan merasakan terjadi guncangan-guncangan. Aku kembali membuka mata, terlihat ombak-ombak yang tinggi dengan air berwarna coklat. Sesekali ada rasa takut, namun selalu mencoba berpositif thinking bahwa ombak yang seperti itu mungkin sudah biasa disini. Paman Philip sang driver juga terlihat tetap tenang walaupun speed itu harus menerobos ombak-ombak yang tinggi tidak seperti di awal perjalanan tadi yang masih begitu tenang airnya. Kurang lebih 2x mesin terhenti, namun alhamdulillah bisa diatasi, sempat juga bensinnya habis, paman philip sudah meminta isikan ke awak speed yang diluar tapi mereka belum mendengar, akhirnya yang lain membantu berteriak memberitahu hingga mereka mendengar. Tak bisa dipungkiri sebenarnya ada rasa takut yang menyelimuti namun tetap mencoba menepisnya, agar tidak terlalu takut dengan melihat gelombang yang tinggi akhirnya kuputuskan untuk memejamkan mata lagi. Tapi tetap saja tidak tenang, kulihat beberapa temanku ada yang tertidur dengan lelap, dan ada juga yang siaga membuka mata termasuk pendamping kami bu Leny dan pak Agus.
Guncangan-guncangan semakin terasa, dan gelombang yang terlihatpun semakin tinggi. Tiba-tiba speed miring ke kanan, aku dan santa spontan jatuh dari tempat duduk dan air masuk lewat jendela. Sempat terdiam beberapa detik, mencoba mencerna apa yang terjadi, setelah itu segera berdiri dan memakai pelampung karena aku belum memakainya sejak awal. Semua hanya bisa diam menutupi kepanikan dan ketakutan dalam diri masing-masing. Aku hanya bisa pasrah jika seandainya speed kami tenggelam karena melihat air sempat masuk tadi. Tapi untungnya speed bisa segera kembali normal ke posisi semula, walaupun setelah itu mesin terhenti beberapa saat. Setelah mesin menyala paman mengatakan kita akan menepi ke darat. Dalam perjalanan menuju ke darat seseorang yang berada diluar berteriak-teriak bahwa ada dua orang yang terlempar dari speed, “kita harus balik paman, yang satunya tidak memakai pelampung dan tidak bisa berenang, mereka bisa mati” ujarnya lagi. Semua menjadi panik tapi tetap hanya bisa diam. Speed pun kembali memutar, mencari yang terlempar, tapi tak ada yang terlihat, yang ada hanyalah gelombang-gelombang yang begitu menakutkan. Paman Philip memutuskan untuk mengantar kami dulu ke darat baru kemudian mencari yang terlempar tadi.
jalan ngesot dari speedboat ke tepi pantai


Sampailah kami di tepi pantai, kami harus berjalan di air kurang lebih setinggi lutut atau dibawahnya, jalannya pun harus “ngesot”, tidak mengangkat kaki, karena takut akan terbawa arus. Pantainya sunyi tak berpenghuni, disampingnya banyak pepohonan yang seperti hutan. Kami disuruh berjalan menyisiri pantai hingga bertemu sebuah sungai. Tak lama kami berjalan tiba-tiba dari arah belakang terlihat paman Philip dan yang lain berjalan dengan cepat mendahului kami. Hingga di tepi sungai mereka menyeberang duluan.
menyeberangi kali dengan perahu kecil, karna tak ada dayung terpaksa kak Ari dan temannya yang menyeberangkan kami dengan berenang mendorong perahunya


Ternyata di seberang sana terlihat dua orang sedang melambai, salah satunya memakai pelampung berwarna orange. Kak Ari dengan semangat mendekati temannya yang terlempar ke laut, merekapun berpelukan saking bahagianya. Kami semua langsung bersyukur dan merasa takjub. Yang tadinya sangat khawatir jika seandainya mereka tidak tertolong, namun akhirnya Tuhan masih memberikan pertolongan-Nya. Kejadian tersebut benar-benar menyentuh, karena pasalnya kami belum pernah mengalami hal serupa. Tiba-tiba ada yang hilang di lautan dengan gelombang yang tinggi, dan akhirnya bisa ditemukan lagi dengan kondisi yang baik-baik saja. Luar biasa sekali, biasanya hanya dilihat di tv. Hehehe.
Aku merasa kejadian ini merupakan teguran dari Allah, karena kami telah melalaikan shalat subuh. Syukurnya Allah masih begitu baik dengan tetap menyelamatkan kami, walaupun saat speed miring itu aku sudah pasrah jika memang harus terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Aku berharap dengan kejadian ini semoga selalu menyempatkan untuk shalat, apalagi shalat subuh kan tidak bisa di jamak.
Mereka yang tadinya saling berpelukan segera menghampiri kami ke sungai, kebetulan disana ada perahu kecil, kami pun naik di perahu tersebut, dengan dua kali bolak-balik akhirnya kami semua tiba di seberang. Tempat kami berada saat itu bernama wambi. Sempat terjadi diskusi beberapa saat untuk memikirkan langkah selanjutnya. Muncul beberapa opsi, yaitu pertama melanjutkan perjalanan dengan speed tapi menunggu airnya tenang, mungkin sampai besok pagi. Tapi opsi ini ditolak karena kami sudah terlanjur takut dan bisa dikatakan trauma. Opsi kedua menuju perkampungan terdekat dengan jalan kaki 10 km, yang ini juga rasanya tidak sanggup kami lakukan. Ada juga usulan salah satu saja yang ke kampung untuk memberi kabar, karena saat itu tidak ada sinyal sama sekali. Tapi belum ada juga yang mau ke sana karena jaraknya yang memang jauh. Akhirnya kami hanya duduk saja di bawah pohon kelapa, sambil memakan makanan yang telah kami bawa.
Setelah beberapa lama duduk disana, ada sebagian dari kami yang kembali ke speed bersama paman philip dan yang lainnya untuk mengambil barang-barang yang diperlukan. Aku hanya menitip minta diambilkan tas kecil yang mana disitu berisi dompet, hp dan yang lainnya karena pada saat turun dari speed hanya membawa dua botol air saja, saking takut dan pasrahnya dengan keadaan. Pas mereka kembali ternyata juga dibawakan kain bali dan celanaku, yang pada selanjutnya sangat bermanfaat kain bali tersebut. Kami beranjak dari bawah pohon kelapa ke rumah penduduk di sana. Sebenarnya itu bukan rumah, tetapi seperti tempat tinggal sementara yang biasa disebut dengan “befak”. Bapak Heri adalah pemilik rumah yang kami singgahi tersebut, istrinya bernama Maria, mereka sangat baik. Ka Siti memasak ikan dan udang yang dicari oleh kak ari dan yang lainnya, adapun berasnya adalah milik pak heri. Kami juga dipetikkan buah kelapa yang masih muda, karena di sekitar rumah pak heri banyak pohon kelapa. Jadi alhamdulillah siang itu kami tidak kelaparan. Hehehe.

Setelah makan siang, Pak Agus dengan salah seorang pergi ke kampung agar bisa memberi kabar keberadaan kami dengan meminjam sepeda motor. cukup lama setelah pak Agus pergi, ada yang naik sepeda motor meminta kami untuk ke pustu wambi. Namun saat ditanya siapa yang menyuruhnya mereka tidak dapat memberikan jawaban yang dapat kami percaya. Kami tidak mau mengikutinya karena belum kenal siapa-siapa disana. Akhirnya mereka balik. Setelah itu datang bidan Ina, dia bidan yang bertugas di pustu wambi. Ternyata bidan Ina lah yang menyuruh mereka yang datang menjemput kami tadi, dan bidan Ina menjelaskan bahwa tadi ada yang mampir ke pustu yang mengatakan bahwa kami sedang terdampar di rumah penduduk yang sedang kami tempati saat itu. Kami pun mengikuti bidan Ina untuk ke pustu. Bidan ina mengatakan jarak ke pustu hanya dekat saja, namun ternyata setelah lama berjalan tak sampai-sampai juga. Belakangan kami ketahui jarak kami berjalan kaki itu sekitar 5 km. Kami tidak menyangka bisa berjalan sejauh itu di pantai yang gelombangnya berasal dari laut arafuru..

jalan kaki menuju pustu wambi


puas-puas makan udang dengan sambal kecap di pustu wambi

Selama di pustu wambi, bidan Ina sangat baik pada kami. Di sana kami makan udang segar dengan puas karena jumlahnya yang banyak. Harga udang disana sangat murah, 1 kg harganya hanya 20 ribu. kami menginap satu malam disana. Walaupun hanya tidur diatas karpet namun sangat beruntung rasanya jika dibanding kami tidur dipinggir pantai dekat kami terdampar itu. Padahal aku sudah membayangkan bagaimana jika kami tidur di bawah pohon kelapa dengan banyak dengungan nyamuk di kanan kiri. Namun ternyata Allah masih baik pada kami, malam itu kami bisa tidur dengan aman dan nyaman. Oh iya pada saat jalan kaki menuju pustu wambi kami semua memakai pelampung di badan, benar-benar terlihat kaya orang trauma. Tapi sebenarnya itu dipakai karena repot jika harus dipegang , jadi lebih baik dipakai saja. Hehehe
Keesokan harinya air di tempat penampungan bidan Ina sudah habis, akhirnya kami harus menimba air di sumur yang tak jauh dari pustu tersebut. Siang-siang menjelang sore kami berangkat ke okaba dengan naik truk karena keputusan selanjutnya adalah kembali ke Merauke. Pengalaman pertama naik di belakang truk. Beberapa penduduk juga ada yang ikut kami. Di perjalanan kami memutar musik sambil bernyanyi bersama untuk menghidupkan suasana. Hehehe. Jalan yang kami lewati tidak terlalu bagus, di kiri kanan penuh dengan pohon-pohon. Pohon-pohonannya tak jauh beda dengan yang di kalimantan, bahkan bisa dikatakan sama. Yang berbeda adalah disana tidak ada monyet, sedangkan di kalimantan banyak monyetnya.
persiapan menuju okaba




di atas truk, dari pustu wambi ke okaba



Sampai di okaba hari sudah senja. Rencana awalnya kami akan langsung ke penyeberangan kali bian, dan akan dijemput oleh orang dari dinkes. Namun setelah dipertimbangkan oleh mererka yang sudah mengetahui medan di sana rasanya tidak mungkin ke kali bian saat itu juga karena hari sudah gelap. Akhirnya kami menginap di rumah dinas dokter nanda yang merupakan kepala puskesmas Okaba. Kami benar-benar serasa seperti pengungsi, tidur dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya. Pakaian kamipun tidak diganti-ganti, karena memang tidak ada pakaian untuk ganti. Setelah mandi pakai lagi baju yang sebelumnya. Di okaba tower sinyalnya sedang rusak, jadilah sudah 24 jam lebih kami tidak ada komunikasi dengan orang-orang nun jauh disana.hehe. Pagi-pagi sekitar pukul 7 pagi lebih kami sudah bersiap-siap untuk ke kali bian dengan motor. ada 12 motor yang mengantarkan kami lengkap dengan pengendaranya. Pas di awal-awal jalannya masih bagus, tapi semakin jauh jalanan semakin sempit dan menjadi jalan setapak. Di kiri kanan rumput yang tingginya melebihi tinggi motor. setelah melewati padang rumput disambung dengan hutan dengan rawa-rawa, yang katanya di rawa-rawa tersebut ada buayanya. Sekitar 2 jam kami sampai di penyeberangan kali bian. Disana sudah ada perahu yang akan membawa setiap orang mau menyeberang. Tanpa berlama-lama kami langsung saja menyeberang. sesampainya di seberang ternyata orang-orang dinas belum datang menjemput kami. kemaren dokter yang di okaba sudah memberitahu orang2 dinkes bahwa kami ada di okaba lewat semacam radio, karena tower sinyal di okaba sedang rusak. orang2 dinkes baru datang sekitar pukul 3 sore, padahal kami sudah menunggu sejak sekitar jam 9 pagi lebih... tapi syukurlah akhirnya mereka datang membawakan makanan, karena kami hanya makan pop mie yang tanggal kadaluarsanya adalah tinggal 1 hari lagi.. Kami balik ke merauke dengan 3 mobil, sempat menangkap sunset di pantai yang kami lalui.. dan tiba lagi di merauke malam hari sekitar jam 8 malam...
di depan rumah dokter nanda, kapus okaba, siap2 menuju kali bian

persiapan menuju kali bian, di depan puskesmas okaba



di perahu penyeberangan


saat tiba di seberang kali bian


kelelahan menunggu jemputan pihak dinkes dari jam pagi hingga sore